Salam
Keunggulan Pendidikan Pesantren Masa Kini
Semua itu terbentuk dari lahirnya pendidikan di pesantren, tak heran dalam kiprah pendidikan, kontribusi pesantren dalam menoreh sejarah pendidikan di Indonesia terus tumbuh, mencuat dan bertembang mengikuti tuntutan dan kebutuhan zaman.
Sehingga pada perkembangan selanjutnya pondok pesantren mengalami dinamika pendidikan yang luar biasa, yakni mengacu kepada paradigma baru yang bertumpu pada 3 tungku:
1. Kemandirian (autonomy)
2. Akuntabilitas (accountability)
3. Jaminan Kualitas (quality assurance)
Pemahaman akan ‘Kemandirian’ pesantren diarahkan pada pemberian otonomi yang lebih besar tidak hanya pada sisi pengelolaan (manajemen} tetapi juga dalam perancangan kurikulum, pengembangan program, kebebasan akademik serta pembinaan semua sumber daya yang ada.
Pengembangan akuntabilitas diarahkan pada peningkatan kemampuan lembaga pendidikan dalam mencapai tujuan yang direncanakan sorta memberikan hasil yang maksimal bagi masyarakat dan bangsa.
Dan pada akhirnya jaminan kualitas diarahkan pada peningkatan relevant yang lebih tegas antara ‘out put’ yang dihasilkan lembaga pendidikan dengan kebutuhan masyarakat baik dalam dunia kerja maupun pengembangan dan pemberdayaan anggota masyarakat.
Perubahan kurikulum pendidikan pesantren dalam konteks ini terpilah antara sisi kontsitusi yang sudah menjadi bagian dari Sisdiknas dan sisi kurikulum struktur mata pelajaran di pesantren yang sudah bercampuar baur dengan kurikulum standar nasional, maka visi yang harus dikembangkan adalah menjadikan pesantren sebagai sebuah si sitem pendidikan yang telah mampu melahirkan lulusan yang menguasai ilmu-ilmu ke-Islaman secara mendalam sekaligus siap pakai dalam dunia kerja, sehingga penataan struktur kurikulum pesantren yang representatif dengan kemajuan ilmu pengetahun dan teknologi.
Pondok pesantren dalam melakukan penataan struktur kurikulum biasanya berkaitan erat dengan ciri khas keilmuan pesantrennya, di samping kondisi lingkungan masyarakatnya seperti letak geogrofis, sosio koltur, sumber-sumber perekonomian dan unsur-unsur lainnya. Secara umum struktur kurikulum di pesantren dipilah ke dalam dua bidang kompetensi yaitu;
Penguasaan bidang keilmuan keislaman tertentu secara mendalam
Pengusaaan ketrampilan hidup (life skull) aplikasinya ke dunia kerja
Tak heran jika pondok pesantren menampilkan dan menawarkan gaya baru dengan program-program keunggulan bidang kejuruan keterampilan antara lain mendidik santri yang ahli ibadah, berilmu, berakhlakul karimah, menguasai keterampilan hidup (life skill) misalnya dibidang agribisnis, perbengkelan dan kewirausaan yang lain.
Pengelolaan pendidikan agribisnis di pondok pesantren sesungguhnya memiliki tujuan dan maksud:
1. Agar setiap pondok pesantren memiliki dan meningkatkan usaha ekonomi produktif sesuai dengan pontensi yang ada di samping sebagai sarana pembelajaran pendidikan keterampilan kecakapan bidup bagi santri.
2. Agar setiap pondok pesantren benar-benar menjadi lembaga yang berbasis masyarakat (society based education).
3. Mencetak santri untuk menguasai berbagai disiplin ilim sebagai bekal mengatur dan memenej kehidupan manusia.
Konsep ini sebenarnya sudah dirintis sejak tahun 1991 melalui koordinasi yang melibatkan instansi terkait diantaranya Departemen Pertanian, Departemen Agama, Departemen Dalam Negeri, Departemen Perindustrian dan Perdagangan, Departemen Koperasi dan Usaha Kecil Menengah.
Usaha-usaha untuk menumbuh kembangkan kegiatan agribisnis di pondok pesantren telah ditempuh melalui dasar hukum sebagai berikut:
A. Keputusan bersama Menteri Pertanian dan Menteri Agama No.346/91 dan No 94/1991 tentang pengembangan Agribisnis di pondok pesantren.
B Kepulusan bersama Menteri Pertanian dan Menteri Agama, sebagai contoh pendidikan pondok pesantren agribisnis yang sengaja di programkan dengan sistem kemandirian adalah Pondok Pesantren Darul Aufa yang terletak di Jalan Nes II Sungai Buluh Muara Bulian Kabupaten Batanghari, telah melakukan terobosan baru dimana para santri tidak hanya dididik dengan keilmuan Keislaman secara mendalam melalui sumber aslinya, yakni kitab kuning (tafaqquh fi din) namun juga pesantren ini telah pula menggunakan istilah yang di pakai oleh Nurcholis Madjid yaitu sebagai ‘Bengkel Life Skill’ yang dibutuhkan oleh masyarakat.
Antara lain yang telah diprogramkan untuk santri adalah penguasaan teknologi agribisnis yang meliputi pertanian, hortikullura, palawija, perkebunan kelapa sawit, karet, tanaman buah buahan seperti jeruk dan durian, dan lain lain.
Perikanan air tawar, nila dan paten serta peternakan sapi (penggemukan dan repruduksi) dan bidang non agribsnis tersedia pembinaan keahlian bengkel motor dan las teralis, (dikhususkan bagi santriwan) sementara untuk santriwati di siapkan kegiatan pelatihan jahid dan bordir.
Dan lebih jauh pesantren ini telah pula menanamkan dan menumbuhkan semangat wirausaha di kalangan santri, antara lain santri menanam kedelai sendiri, kemudian mengolah bahan kedele tersebut menjadi tempe dan susu kedelei, hingga akhirnya di pasarkan.
Ada beberapa factor yang mendukung terlaksananya pendidikan agribisnis di Pondok Pesantren Darul Aufa tersebut berdasarkan pengamalan penulis yakni:
A. Factor internal.
Factor internal adalah hal-hal yang berada di lingkungan Pondok Pesantren Darul aufa yang dapat mempengaruhi kelangsungan agribisnis yang merupakan penentu dan penunjang keberhasilan antara lain:
l. Sumberdaya Alam (SDA), misalnya kondisi pesantren memiliki lahan luas, yang dapat dikembangkan sebagai usaha pelaksanaan pendidikan agribisnis sebagai labor praktek usaha santri disamping memiliki asset/ modal biaya operasional
2. Sumbeidaya manusia (SDM). SDM di pondok pesantren menggambarkan integritas dan keseluruhan nilai yang harus dimiliki porsenil artara lain keterampilan, pengetahuan, kemampuan untuk bekerja serta keseharan yang baik untuk bersama sama membuatnya mampu melakukan strategi penghidupan sebagai pilar penting mencapai kesuksssan. Kurangnya nilai SDM berimbas pada dimensi inti dan kehidupan miskin hidup. Para Ustaz yang notabene adalah para guru agama berpendidikan sarjana agama, sudah merupakan keuntungan spritual tersendiri, dimana memiliki akhlak terpuji, antara lain sikap qonaah, kemauan bekerja, kemauan untuk mengikuti perintah kyai, keiklasan bekerja, keinginan bekerjasama sikap toleransi dan lain-lain. Kondisi para santri pun sesungguhnya sebuah asset yang tak ternilai mulai dari segi jumlahnya, mengikat kuat dalam pola hidup kebersamaan di pesantren di bawah bimbingan kyia yang kharismatik.
B. Faktor eksternal
1. Kemitraan dengan pihak Dinas terkait
Sebuah kemitraan terbentuk manakala muncul rasa keingman yang kuat ketika membutuhkan pihak laia yang lebih berkompeten dan konsepnya ditemukan dalam bekerjasama, pendidikan di pesantren untuk biding agribisnis dan bengkel motor dan las teralis melakukan mitra dan kerjasama, dengan terutama dinas terkait antara lain: Dinas Perindakop yang selain mengucurkan dana bantuan modal juga melakukan pembinaan dan diklat bagi santri termasuk Dinas Ketahanan Pangan, Dinas Perkebunan, Dinas Perikanan, Balai Pelalihan Pertanian Departemen Pertanian, juga Departemen Agama.
Dengan demikian keyakinan untuk sukses dalam melaksanakan pendidikan agribisnis di pondok pesantren tidaklah diragukan dikarenakan ditangani oleh orang orang yang memang ahli di bidang pertanian, di mana pondok pesantren memiliki petugas teknis lapangan yang memang handal di bidangnya.
Wajarlah sebagai conloh Pondok Pesantren Darul Aufa berdasarkan surat Gubernur Jambi nomor 521/283/iEkbang/tanggal 14 Juli tahun 2008 perihal penghargaan pengembangan ketahanan pangan dalam rangka HKP {Hari Krida Pertanian) ke 36 tahun 2008 terpilih dan mendapat Juara 1 (satu) Pemenang Lomba Pengembangan Kelahanan Pangan Tingkat Provinsi Jambi. Disamping itu telah diterima pula oleh Pondok Pesantren Darul Aufa predikat manajemen Orsos (Organisasi Sosial) yang badan Orsosnya adalah Yayasan Pendidkan Zulyaden terbaik dalam Provinsi Jambi Tahun 2007.
Ada kebanggaan dan perasaaan keagamaan yang menyentuh nurani tersendiri manakala kita memilki putra-putri kita untuk mengikuti pendidikan dari pesantren, seperti adanya manisfestasi pola ibadah yang tertib dengan keutamaan sholat jamaah, amalan wirid, puasa sunnah, sholat tahajjut, kebiasaan pengamalan sholat sholat sunnah seperti dhuha, hajat, witir, rawatif dan lain lain. Belum lagi sistem penerapan disiplin yang nyaris tak teraisa sedikitpun waktu santri untuk berhura hura karena gemblengan pesantren 24 jam dengan sederetan aturan yang harus dipatuhi santri, pelanggaraan berarti adalah sanksi.
Nah ketika kita mendapatkan banyak hal dan pendidikandi pondok pesantren mengapa pula kita justru meragukan potensi dan keberadaan lembaga pendidikan pondok pesantren ini? Dengan pendidikan di pondok pesantren, berarti dua dimensi kita dapatkan manfaat keilmuan, yakni dunia dan akherat.
Kurang apa lagi? Yok, belajar hidup dari kehidupan di pesanfren.***
Read Full...Melawan Kebhatilan Yang Tidak Kelihatan
Ulama dan santri merupakan dua senyawa yang sangat akrab di telinga masyarakat Islam di Indonesia. Fakta ini pula yang menjadikan perkembangan Islam di Indonesia sangat khas dan unik. Clifford Geertz, umpamanya, adalah salah seorang antropolog asing yang akrab dengan Indonesia. Ia meneliti tentang priyayi, santri, dan abangan di sebuah daerah di Jawa Timur. Sungguh banyak peneliti asing yang menjadi ahli Indonesia, khusunya sebagai pakar mengenai dunia santri atau dunia Islam di Indonesia.
Abdul Munir Mulkhan dalam buku Runtuhnya Mitos Politik Santri: Strategi Kebudayaan dalam Dakwah Islam (1994: 1) menjelaskan bahwa kata “santri” dalam khasanah kehidupan bangsa dan masyarakat Islam di Indonesia memiliki dua makna. Pertama, menunjuk ke sekelompok peserta sebuah pendidikan pesantren atau pondok. Kedua, menunjuk ke akar budaya sekelompok pemeluk Islam sebagaimana juga dimaknai oleh Clifford Geertz. Tulisan ini mengacu pada santri dalam pengertian pertama yang dibuat oleh Mulkhan tersebut.
Menurut Mulkhan –berdasarkan definisi kedua–, santri sebagai golongan merupakan lapisan minoritas Muslim di tengah mayoritas pemeluk Islam. Namun, dalam berbagai kesempatan, lapisan ini mencerminkan kecenderungan perilaku sekitar 140 juta pemeluk Islam di Indonesia, khususnya di bidang politik. “Jika semula status mereka di tengah komunitas Muslim dan masyarakat Indonesia ditentukan oleh posisi ekonomi dan latar belakang pendidikannya, setelah lebih 40 tahun Indonesia merdeka, golongan ini telah mengalami banyak perubahan, baik di bidang ekonomi maupun politik,” tulis Mulkhan.
Citra Dunia Santri
Sekarang, sudah 60 tahun lebih Indonesia merdeka, peran politik dan ekonomi santri tentu kian berubah dalam pengertian yang lebih baik atau mungkin sebaliknya. Apalagi, situasi ekonomi dan politik Indonesia pascakemerdekaan mengalami pemusatan pada agen-agen pengusaha dan penguasa nasional. Pada masa akhir Orde Baru dan masa reformasi, situasi ekonomi dan politik nasional sangat ditentukan oleh agenda-agenda politik dan ekonomi negara-negara kaya. Pemerintah dan rakyat Indonesia memikul utang luar negeri yang tinggi dan bersamaan dengan itu juga dilanda wabah penyakit korupsi yang kian menggila.
Khusus masyarakat muslim Indonesia, tentu saja masih disergap penyakit anti-Islam yang datang dari sejumlah kalangan masyarakat dan pemerintah Indonesia sendiri. Sentimen anti-Islam belakangan ini datang lagi dari negara-negara Barat, terutama Amerika Serikat dan sekutunya. Kasus penangkapan dan penahanan Abu Bakar Ba’asyir (Majelis Mujahidin Indonesia) dan tuduhan bahwa pesantren telah menjadi sarang kaum teroris hingga rencana pemerintah mengawasi atau mengontrol dunia pesantren pada masa Megawati Soekarnoputri menjadi Presiden RI merupakan sebagian contoh nyatanya.
Santri dan dunia pesantren dipenuhi citra atau cap yang menakutkan, sementara sedikit sekali media massa atau lembaga kemasyarakatan yang berusaha mengangkat sisi yang sesungguhnya dari dunia santri dan pesantren. Akibatnya, masyarakat santri di pesantren dipandang oleh masyarakat umum nonpesantren dalam dua pemahaman yang merugikan.
Pertama, masyarakat santri di pesantren dipahami sebagai kelompok yang semata-mata berlajar agama dan kitab-kitab Islam tanpa peduli pada masalah-masalah sosial yang terjadi dalam masyarakat umum.
Kedua, dunia santri dan pesantren dicitrakan sebagai dunia yang tertutup atau eksklusif sehingga dekat dengan keterbelakangan, kekumuhan, dan kebodohan atas perkembangan dunia modern.
Pada sisi lain, tokoh-tokoh santri dari pesantren yang telah mengorbit menjadi tokoh nasional, baik sebagai politisi, intelektual atau cendekiawan, pengusaha, dan da’i tak sepenuhnya bisa meluruskan citra santri dan dunia pesantren yang sudah dicap negatif tadi.
Dalam kaitannya dengan perang citra di atas, masyarakat Islam dari kalangan santri maupun nonsantri jelas-jelas berhadapan dengan “kebathilan (musuh) yang tidak kelihatan”. Kebathilan yang tidak tampak itu tentulah tidak serupa dengan sosok kaum penjajah di zaman penjajahan sebab ia hidup dalam format kekuatan modal (uang), sain dan teknologi, serta ideologi (atau pemikiran filosofis yang rasional dan gampang diterapkan dalam kehidupan sehari-hari). Berbagai karya tulis hasil riset, media cetak dan elektronik langsung siar, barang-barang kebutuhan hidup langsung saji dari pabrik, teknologi dunia maya seperti internet atau handphone (HP), dan lain-lain merupakan hasil dahsyat dari kekuatan modal (uang), sain dan teknologi, serta ideologi tersebut.
Sikap Santri Masa Kini
Secara emosional mungkin kita akan menyikapi masalah di atas dengan tindakan kekerasan atau teror. Tentu saja ada pengecualian atas tindakan teror atau bom bunuh diri yang dilakukan oleh para pejuang muslim di negara Palestina, Irak, atau Afghanistan atas penjajahnya. Secara terang, kita akan membedakan masalah-masalah tersebut dalam situasi damai dan situasi perang. Pada masyarakat Islam di Indonesia masa kini jelaslah sedang berada dalam situasi damai.
Oleh sebab itu, respon kaum muslim atas berbagai citra negatif di atas mesti dilakukan secara produktif. Umpamanya, kita membuat tulisan ilmiah atau melakukan penelitian yang bertujuan menjelaskan karakter masyarakat muslim dalam hidup sehari-hari. Bisa juga kita membuat teknologi tepat guna dan murah untuk menggiling singkong menjadi kerupuk atau merancang model pertanian sayur-mayur dengan pupuk kompos (tanpa pupuk kimia) dan lain-lain. Intinya, kita melakukan semua agar dapat digunakan oleh orang banyak tanpa membedakan agama, suku, dan status sosial. Kaum santri memiliki peluang besar untuk bereksperimen melakukan kegiatan amal-usaha tersebut. Dengan demikian, kita telah menerapkan (setelah menghapal!) salah satu sikap hidup dalam Islam, yaitu “sedikit berbicara dan banyak bekerja untuk kebaikan”. Lantaran itu, biarlah orang lain menilai bahwa sikap hidup dalam Islam bukanlah kekerasan atau teror.
Masih banyak yang bisa dilakukan kaum santri sebagai salah satu lapisan kekuatan agama Islam dan kebudayaan Indonesia. Para santri bisa menjadi pelopor perdamaian atau menjadi pencetus solidaritas sosial dalam masyarakat ketika bangsa Indonesia mengalami berbagai konflik dan bencana alam.
Di samping terus mengkaji dan mengembangkan nilai-nilai Islam di pesantren sebagai tugas pokok, kaum santri dapat saja menyumbangkan amal-ibadahnya untuk kemajuan bangsa Indonesia. Suatu waktu, kaum santri mungkin akan membangun kekuatan ekonomi di tingkat desa sehingga bisa membuka lapangan kerja sekaligus menerapkan prinsip-prinsip dalam Islam tentang gaji buruh, zakat harta, tanggung jawab lingkungan, dan seterusnya.
Mungkin harapan di atas terlalu berat dan berlebihan, tetapi para santri bisa menyusun agenda amal-ibadah atau amal-usaha sesuai pemikirannya sendiri dan berdasarkan situasi serta kondisi lingkungannya masing-masing. Kenyataan yang tidak bisa diingkari oleh kita saat ini bahwa bangsa Indonesia sedang dilanda musibah nasional berupa bencana alam dan kemiskinan permanen yang diderita oleh sebagian rakyat. Pada bagian lain, sebagian besar pejabat pemerintah dari tingkat pusat hingga daerah mengidap penyakit korupsi. Tindakan korupsi tersebut sudah difatwakan haram oleh para ahli fiqh dalam beberapa tahun terakhir ini. Namun, tentu saja kita tidak bisa menyeret pelaku korupsi itu dalam pengadilan syari’ah sebab Indonesia merupakan negara multikultur dan agama (bukan negara Islam). Kita hanya bisa mengampanyekan cara hidup yang Islami, yaitu menghindari memakan barang haram atau menghindari memakai fasilitas negara untuk kepentingan pribadi. Sikap hidup dalam ber-Islam sesungguhnya banyak terhampar luas dalam kisah para Nabi Allah dan kisah para sahabat Rasulallah Muhammad SAW.
Dalam sejarah kekhalifahan Islam pun banyak terdapat rujukan mengenai akibat pemerintahan yang korup dan dampak positif pemerintahan yang adil-sejahtera. Sebagai contoh, Abu Dzar al-Ghiffari adalah salah seorang tokoh pembela orang miskin pada masa pemerintahan Utsman bin Affan yang dijangkiti korupsi. Abu Dzar sendiri tak pernah silau pada harta dan kekuasaan. Ia pun wafat dalam kesepian dan kemelaratan, tetapi jiwanya bergelimang cahaya kehormatan dan kemuliaan. Lebih mengagumkan lagi, ia selalu didukung dan ditemani oleh istrinya yang tak kalah zuhud-nya.
Untuk kaum muslim di Indonesia, khususnya para santri, mungkin perlu bercita-cita menjadi orang kaya-raya sehingga bisa membangun industri dengan gaji buruh yang maha tinggi. Melalui kekayaan itu, sang muslim atau sang santri kelak bisa pula membangun dunia pertanian atau membuka usaha perdagangan yang melibatkan banyak pekerja dengan hak-hak yang maha layak.
Banyak hal yang bisa dicita-citakan dan ini bukan mengkhayal sebab cita-cita itu merupakan rencana hidup dengan ukuran-ukuran yang kita buat sendiri. Kalau cita-cita untuk kebaikan atau demi orang banyak, mana mungkin Allah Swt tidak mempertimbangkannya. Jadi, tidak salah, bukan?