Salam

Melawan Kebhatilan Yang Tidak Kelihatan

Dalam sejarah perjuangan umat Islam Indonesia, terutama pada masa perjuangan kemerdekaan, santri dan ulama merupakan salah satu ujung tombak pergerakan melawan penjajah. Dalam perang 10 Nopember 1945 di Surabaya, misalnya, kaum ulama mengeluarkan Resolusi Jihad yang disuarakan oleh K.H. Hasyim Asy’ari sehingga umat Islam bangkit melawan penjajah dengan perhitungan mati syahid. Di Aceh, kaum ulama yang sebagiannya juga tokoh tareqat mempelopori perang melawan penjajah pada masa dulu. Hikayat Prang Sabi merupakan syair yang digubah para ulama Aceh untuk mengobarkan semangat jihad dan mati syahid bagi rakyat Aceh dalam mengusir kaum kaphe (kafir) atau penjajah.

Ulama dan santri merupakan dua senyawa yang sangat akrab di telinga masyarakat Islam di Indonesia. Fakta ini pula yang menjadikan perkembangan Islam di Indonesia sangat khas dan unik. Clifford Geertz, umpamanya, adalah salah seorang antropolog asing yang akrab dengan Indonesia. Ia meneliti tentang priyayi, santri, dan abangan di sebuah daerah di Jawa Timur. Sungguh banyak peneliti asing yang menjadi ahli Indonesia, khusunya sebagai pakar mengenai dunia santri atau dunia Islam di Indonesia.

Abdul Munir Mulkhan dalam buku Runtuhnya Mitos Politik Santri: Strategi Kebudayaan dalam Dakwah Islam (1994: 1) menjelaskan bahwa kata “santri” dalam khasanah kehidupan bangsa dan masyarakat Islam di Indonesia memiliki dua makna. Pertama, menunjuk ke sekelompok peserta sebuah pendidikan pesantren atau pondok. Kedua, menunjuk ke akar budaya sekelompok pemeluk Islam sebagaimana juga dimaknai oleh Clifford Geertz. Tulisan ini mengacu pada santri dalam pengertian pertama yang dibuat oleh Mulkhan tersebut.

Menurut Mulkhan –berdasarkan definisi kedua–, santri sebagai golongan merupakan lapisan minoritas Muslim di tengah mayoritas pemeluk Islam. Namun, dalam berbagai kesempatan, lapisan ini mencerminkan kecenderungan perilaku sekitar 140 juta pemeluk Islam di Indonesia, khususnya di bidang politik. “Jika semula status mereka di tengah komunitas Muslim dan masyarakat Indonesia ditentukan oleh posisi ekonomi dan latar belakang pendidikannya, setelah lebih 40 tahun Indonesia merdeka, golongan ini telah mengalami banyak perubahan, baik di bidang ekonomi maupun politik,” tulis Mulkhan.

Citra Dunia Santri

Sekarang, sudah 60 tahun lebih Indonesia merdeka, peran politik dan ekonomi santri tentu kian berubah dalam pengertian yang lebih baik atau mungkin sebaliknya. Apalagi, situasi ekonomi dan politik Indonesia pascakemerdekaan mengalami pemusatan pada agen-agen pengusaha dan penguasa nasional. Pada masa akhir Orde Baru dan masa reformasi, situasi ekonomi dan politik nasional sangat ditentukan oleh agenda-agenda politik dan ekonomi negara-negara kaya. Pemerintah dan rakyat Indonesia memikul utang luar negeri yang tinggi dan bersamaan dengan itu juga dilanda wabah penyakit korupsi yang kian menggila.

Khusus masyarakat muslim Indonesia, tentu saja masih disergap penyakit anti-Islam yang datang dari sejumlah kalangan masyarakat dan pemerintah Indonesia sendiri. Sentimen anti-Islam belakangan ini datang lagi dari negara-negara Barat, terutama Amerika Serikat dan sekutunya. Kasus penangkapan dan penahanan Abu Bakar Ba’asyir (Majelis Mujahidin Indonesia) dan tuduhan bahwa pesantren telah menjadi sarang kaum teroris hingga rencana pemerintah mengawasi atau mengontrol dunia pesantren pada masa Megawati Soekarnoputri menjadi Presiden RI merupakan sebagian contoh nyatanya.

Santri dan dunia pesantren dipenuhi citra atau cap yang menakutkan, sementara sedikit sekali media massa atau lembaga kemasyarakatan yang berusaha mengangkat sisi yang sesungguhnya dari dunia santri dan pesantren. Akibatnya, masyarakat santri di pesantren dipandang oleh masyarakat umum nonpesantren dalam dua pemahaman yang merugikan.

Pertama, masyarakat santri di pesantren dipahami sebagai kelompok yang semata-mata berlajar agama dan kitab-kitab Islam tanpa peduli pada masalah-masalah sosial yang terjadi dalam masyarakat umum.

Kedua, dunia santri dan pesantren dicitrakan sebagai dunia yang tertutup atau eksklusif sehingga dekat dengan keterbelakangan, kekumuhan, dan kebodohan atas perkembangan dunia modern.

Pada sisi lain, tokoh-tokoh santri dari pesantren yang telah mengorbit menjadi tokoh nasional, baik sebagai politisi, intelektual atau cendekiawan, pengusaha, dan da’i tak sepenuhnya bisa meluruskan citra santri dan dunia pesantren yang sudah dicap negatif tadi.

Dalam kaitannya dengan perang citra di atas, masyarakat Islam dari kalangan santri maupun nonsantri jelas-jelas berhadapan dengan “kebathilan (musuh) yang tidak kelihatan”. Kebathilan yang tidak tampak itu tentulah tidak serupa dengan sosok kaum penjajah di zaman penjajahan sebab ia hidup dalam format kekuatan modal (uang), sain dan teknologi, serta ideologi (atau pemikiran filosofis yang rasional dan gampang diterapkan dalam kehidupan sehari-hari). Berbagai karya tulis hasil riset, media cetak dan elektronik langsung siar, barang-barang kebutuhan hidup langsung saji dari pabrik, teknologi dunia maya seperti internet atau handphone (HP), dan lain-lain merupakan hasil dahsyat dari kekuatan modal (uang), sain dan teknologi, serta ideologi tersebut.

Sikap Santri Masa Kini

Secara emosional mungkin kita akan menyikapi masalah di atas dengan tindakan kekerasan atau teror. Tentu saja ada pengecualian atas tindakan teror atau bom bunuh diri yang dilakukan oleh para pejuang muslim di negara Palestina, Irak, atau Afghanistan atas penjajahnya. Secara terang, kita akan membedakan masalah-masalah tersebut dalam situasi damai dan situasi perang. Pada masyarakat Islam di Indonesia masa kini jelaslah sedang berada dalam situasi damai.

Oleh sebab itu, respon kaum muslim atas berbagai citra negatif di atas mesti dilakukan secara produktif. Umpamanya, kita membuat tulisan ilmiah atau melakukan penelitian yang bertujuan menjelaskan karakter masyarakat muslim dalam hidup sehari-hari. Bisa juga kita membuat teknologi tepat guna dan murah untuk menggiling singkong menjadi kerupuk atau merancang model pertanian sayur-mayur dengan pupuk kompos (tanpa pupuk kimia) dan lain-lain. Intinya, kita melakukan semua agar dapat digunakan oleh orang banyak tanpa membedakan agama, suku, dan status sosial. Kaum santri memiliki peluang besar untuk bereksperimen melakukan kegiatan amal-usaha tersebut. Dengan demikian, kita telah menerapkan (setelah menghapal!) salah satu sikap hidup dalam Islam, yaitu “sedikit berbicara dan banyak bekerja untuk kebaikan”. Lantaran itu, biarlah orang lain menilai bahwa sikap hidup dalam Islam bukanlah kekerasan atau teror.

Masih banyak yang bisa dilakukan kaum santri sebagai salah satu lapisan kekuatan agama Islam dan kebudayaan Indonesia. Para santri bisa menjadi pelopor perdamaian atau menjadi pencetus solidaritas sosial dalam masyarakat ketika bangsa Indonesia mengalami berbagai konflik dan bencana alam.

Di samping terus mengkaji dan mengembangkan nilai-nilai Islam di pesantren sebagai tugas pokok, kaum santri dapat saja menyumbangkan amal-ibadahnya untuk kemajuan bangsa Indonesia. Suatu waktu, kaum santri mungkin akan membangun kekuatan ekonomi di tingkat desa sehingga bisa membuka lapangan kerja sekaligus menerapkan prinsip-prinsip dalam Islam tentang gaji buruh, zakat harta, tanggung jawab lingkungan, dan seterusnya.

Mungkin harapan di atas terlalu berat dan berlebihan, tetapi para santri bisa menyusun agenda amal-ibadah atau amal-usaha sesuai pemikirannya sendiri dan berdasarkan situasi serta kondisi lingkungannya masing-masing. Kenyataan yang tidak bisa diingkari oleh kita saat ini bahwa bangsa Indonesia sedang dilanda musibah nasional berupa bencana alam dan kemiskinan permanen yang diderita oleh sebagian rakyat. Pada bagian lain, sebagian besar pejabat pemerintah dari tingkat pusat hingga daerah mengidap penyakit korupsi. Tindakan korupsi tersebut sudah difatwakan haram oleh para ahli fiqh dalam beberapa tahun terakhir ini. Namun, tentu saja kita tidak bisa menyeret pelaku korupsi itu dalam pengadilan syari’ah sebab Indonesia merupakan negara multikultur dan agama (bukan negara Islam). Kita hanya bisa mengampanyekan cara hidup yang Islami, yaitu menghindari memakan barang haram atau menghindari memakai fasilitas negara untuk kepentingan pribadi. Sikap hidup dalam ber-Islam sesungguhnya banyak terhampar luas dalam kisah para Nabi Allah dan kisah para sahabat Rasulallah Muhammad SAW.

Dalam sejarah kekhalifahan Islam pun banyak terdapat rujukan mengenai akibat pemerintahan yang korup dan dampak positif pemerintahan yang adil-sejahtera. Sebagai contoh, Abu Dzar al-Ghiffari adalah salah seorang tokoh pembela orang miskin pada masa pemerintahan Utsman bin Affan yang dijangkiti korupsi. Abu Dzar sendiri tak pernah silau pada harta dan kekuasaan. Ia pun wafat dalam kesepian dan kemelaratan, tetapi jiwanya bergelimang cahaya kehormatan dan kemuliaan. Lebih mengagumkan lagi, ia selalu didukung dan ditemani oleh istrinya yang tak kalah zuhud-nya.

Untuk kaum muslim di Indonesia, khususnya para santri, mungkin perlu bercita-cita menjadi orang kaya-raya sehingga bisa membangun industri dengan gaji buruh yang maha tinggi. Melalui kekayaan itu, sang muslim atau sang santri kelak bisa pula membangun dunia pertanian atau membuka usaha perdagangan yang melibatkan banyak pekerja dengan hak-hak yang maha layak.

Banyak hal yang bisa dicita-citakan dan ini bukan mengkhayal sebab cita-cita itu merupakan rencana hidup dengan ukuran-ukuran yang kita buat sendiri. Kalau cita-cita untuk kebaikan atau demi orang banyak, mana mungkin Allah Swt tidak mempertimbangkannya. Jadi, tidak salah, bukan?

0 komentar:

Posting Komentar

 
© Grunge Theme Copyright by Santri Masakini Bersyiar Dengan Digital | Template by Blogger Templates | Blog Trick at Blog-HowToTricks